Seseorang, baik pria maupun wanita, dinyatakan menderita anemia apabila kadar
hemoglobin dalam darahnya kurang dari 12 g / 100 ml. Anemia lebih sering dijumpai
dalam kehamilan. Hal itu disebabkan karena dalam kehamilan keperluan akan zat – zat
makanan bertambah dan terjadi pula perubahan – perubahan dalam darah dan sumsum
tulang.
Darah bertambah banyak dalam kehamilan, yang lazim disebut hidremia atau
hipervolemia. Akan tetapi, bertambahnya sel – sel darah kurang dibandingkan dengan
bertambhnya plasma, sehingga terjadi pengenceran darah. Pertambahan tersebut
berbanding sebagai berikut : plasma 30 %, sel darah 18 %, dan hemoglobin 19 %.
Pengenceran darah dianggap sebagai penyesuaian diri secara fisiologi dalam
kehamilan dan bermanfaat bagi wanita. Pertama – tama pengeceran itu meringankan
beban jantung yang harus bekerja lebih berat dalam masa hamil, karena sebagai akibat
hidremia cardiac output meningkat. Kerja jantung lebih ringan apabila viskositas darah
rendah. Resistensi perifer berkurang pula, sehingga tekanan darah tidak naik. Kedua,
pada perdarahan waktu persalinan, banyaknya unsur besi yang hilang lebih sedikit
dibandingka dengan apabila darah itu tetap kental.
Bertambahnya darah dalam kehailan sudah mulai sejak kehamilan umur 10
minggu dan mencapai puncaknya dalam kehamilan antara 32 dan 36 minggu. Hoo Swit
Tjiong menemukan dalam penyelidikan berangkai pada 21 wanita di R.S. Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta dari kehamilan 8 minggu sampai persalinan dan 40 hari
postpartum, bahwa kadar Hb, jumlah eritrosit, dan nilai hematokrit, ketiga – tiganya turun
selama kehamilan sampai 7 hari postpartum. Setelah itu ketiga nilai itu meningkat, dan
40 hari postpartum mencapai angka – angka yang kira – kira sama dengan angka – angka
di luar kehamilan. Hasil penyelidikan ini disokong oleh penyelidikan lain pada 3531
wanita hamil yang dilakukan dalam waktu dan di rumah sakit yang sama.
Dalam hubungan dengan apa yang diuraikan di atas terbanyak penulis mengambil
nilai 10 g / 100 ml sebagai batas terendah untuk kadar Hb dalam kehamilan. Seorang
wanita hamilyang memiliki Hb kurang dari 10 g / 100 ml barulah disebut menderita
anemia dalam kehamilan. Karena itu, para wanita hamil dengan Hb antara 10 dan 12 g /
100 ml tidak dianggap menderita anemia patologik, akan tetapi anemia fisiologik atau
pseudoanemia.
Frekuensi anemia dalam kehamilan
Di seluruh dunia frekuensi anemia dalam kehamilan cukup tinggi, berkisar antara
10 % dan 20 %. Karena defisiensi makanan memegang peranan yang sangat penting
dalam timbulnya anemia maka dapat difahami bahwa frekuensi itu leibh tinggi lagi di
negeri – negeri yang sedan berkembang, dibandingkan dengan negeri – negeri yang
sudah maju. Menurut penyelidikan Hoo Swie Tjiong frekuensi anemia dalam kehamilan
setinggi 18,5 %, pseudoanemia 57,9 %, dan wanita hamil dengan Hb 12 g / 100 ml atau
lebih sebanyak 23,6 %; Hb rata – rata 12,3 g / ml dalam trimester I, 11,3 g / 100 ml dalam
trimester II, dan 10,8 g / 100 ml dalam trimester III. Hal itu disebabkan karena
pengenceran darah menjadi makin nyata dengan lanjutnya umur kehamilan, sehingga
frekuensi anemia dalam kehamilan meningka pula.
Pengaruh anemia dalam kehamilan
Anemia dalam kehamilan memberi pengaruh kurang baik bagi ibu, baik dalam
kehamilan, persalinan maupun dalam nifas dan masa selanjutnya. Pelbagai penyulit dapat
timbul akibat anemia, seperti :
1. Abortus
2. Partus prematurus
3. Partus lama karena ineria uteri
4. Perdarahan postpartum kiarena atonia uteri
5. Syok
6. Infeksi, baik intrapartum maupun postpartum
7. Anemia yang sangat berat dengan Hb kurang dari 4 g / 100 ml dapat
menyebabkan dekpmpensasi kordis, seperti dilaporkan oleh Lie – Injo Luan Eng
dkk.
Hipoksia akibat anemia dapat menyebabkan syok dan kematian ibu pada persalianan
sulit, walaupun tidak terjadi perdarahan. Juga bagi hasil konsepsi anemia dalam
kehamilan memberi pengaruh kurang baik, seperti :
1. Kematian mudigah
2. Kematian perinatal
3. Prematuritas
4. Dapat terjadi cacat bawaan
5. Cadangan besi kurang.
Jadi, anemia dalam kehamilan merupakan sebab potensial morbiditas serta mortalitas
ibu dan anak.
Pembagian anemia dalam kehamilan
Perbagai macam pembagian anemia dalam kehamilan telah dikemukakan oleh
para penulis. Berdasarkan penyelidikan di Jakarta anemia dalam kehamilan dapat
dibagi sebagai berikut :
1. Anemia defisiensi besi....................................................................62,3 %
2. Anemia megaloblastik....................................................................29,0 %
3. Anemia hipoplastik......................................................................... 8,0 %
4. Anemia hemolitik........................................................................... 0,7 %
I. ANEMIA DEFISIENSI BESI
Anemia dalam kehamilan yang paling sering dijumpai ialah anemia akibat
kekurangan besi. Kekurangan ini dapat disebabkan karena kurang masuknya unsur besi
dengan makanan, karena gangguan resorpsi, gangguan penggunaan, atau karena
terlampau banyaknya besi ke luar dari badan, misalnya pada perdarahan.
Keperluan akan besi bertambah dalam kehamilan, terutama dalam trimester
terakhir. Apabila masuknya besi tidak ditambah dan kehamilan, maka mudah terjadi
anemia defisiensi besi, lebih – lebih pada kehamilan kembar. Lagi pula di daerah
khatuliswa besi lebih banyak ke luar melalui air penuh dan melalui kulit. Masuknya besi
setiap hari yang dianjurkan tidak sama untuk pelbagai negeri. Untuk wanita tidak hamil,
wanita hamil, dan wanita yang menyusui dianjurkan di Amerika Serikat masing – masing
12 mg, 15 mg, dan 15 mg ; di Indonesia masing – masing 12 mg, dan 17 mg, dan 17 mg.
Diangnosa
Diangnosis anemia defisiensi besi yang berat tidak sulit karena ditandai ciri – ciri
yang khas bagi defisiensi besi, yakni mikrositosis dan hipokromasia. Anemia yang ringan
tidak selalu menunjukan ciri – ciri khas itu, bahkan banyak yang bersifat normositer dan
normokrom. Hal itu disebabkan karena defisiensi besi dapat berdampingan dengan
defisiensi asam folat. Yang terakhir menyebabkan anemia mengloblastik yang sifatnya
makrositer dan hiperkrom. Anemia ganda demikian lazim disebut anemia dimorfis, yang
dapat dibuktikan dengan kurva Price Jones.
Sifat lain yang khas bagi defisiensi besi adalah : a. Kadar besi serum rendah; b.
Daya ikat besi serum tinggi; c. Protoporfirin eritrosit tinggi; dan d. Tidak ditemukan
hemosiderin ( stainable iron ) dalam sumsum tulang.
Pengobatan percobaan ( therapia ex juvantibus ) dengan besi dapat pula dipakai
untuk membuktikan defisiensi besi : jikalau dengan pengobatan jumlah retikulosit, kadar
Hb dan besi serum naik sedang daya ikat besi serum dan protoporforin eritrosit turun,
maka anemia itu pasti disebabkan kekurangan besi.
Pemeriksaan sumsum tulang menunjukan eriropoesis yang normoblastik tanpa
tanda – tanda hipoplasia eritropoesis.
Terapi
Apabila pada pemeriksaan kehamilan hanya Hb yang diperiksa dan Hb itu kurang
dari 10 g / 100 ml, maka wanita dapat dianggap sebagai menderita anemia defisiensi besi,
baik yang murni maupun yang dimorfis, karena tersering anemia dalam kehamilan
anemia defisiensi besi.
Pengobatan dapat dimulai dengan preparat besi per os. Biasanya diberikan garam
besi sebanyak 600 – 1000 mg sehari, seperti sulfas – ferrosus atau glukonas ferrosus. Hb
dapat dinaikan sampai 10 g / 100 ml atau lebih asal masih ada cukup waktu sampai janin
lahir. Peranan vitamin C dalam pengobatan dengan besi masih diragukan oleh beberapa
penyelidik. Mungkin vitamin C mempunyai khasiat untuk mengubah ion ferri menjadi
ion ferro yang lebih mudah diserap oleh selaput usus.
Terapi perenteral baru diperlukan apabila penderita tidak tahan akan obat besi per
os, ada gangguan penyerapan, penyakit saluran pencernaan, atau apabila kehamilannya
sudah tua. Besi parenteral diberikan dalam bentuk ferri. Secara intramuskulus dapat
disuntikan dekstran besi ( imferon ) atau sorbitol besi ( Jectofer ). Hasilnya lebih cepat
dicapai, hanya penderita merasa nyeri di tempat suntikan.
Juga secara intravena perlahan – lahan besi dapat diberikan, seperti ferrum
oksidum sakkaratum ( Ferrigen, Ferrivenin, Proferrin, Vitis ), sodium diferrat
( Ferronascin ), dan dekstran besi ( imferon ). Akhir – akhir ini Imferon banyak pula
diberikan dengan infus dalam dosis total antara 1000 – 2000 mg unsur besi sekaligus,
dengan hasil yang sangat memuaskan. Walaupun besi intravena dan dengan infus kadang
– kadang menimbulkan efek sampingan, namun apabila ada indikasi yang tepat, cara ini
dapat dipertanggungjawabkan. Komplikasi kurang berbahaya dibangdingkan dengan
transfusi darah.
Transfusi darah sebagai pengobatan anemia dalam kehamilan sangat jarang
diberikan – walaupun Hb-nya kurang dari 6 g / 100 ml – apabila tidak terjadi perdarahan.
Darah secukupnya harus tersedia selama persalinan, yang segera harus diberikan apabila
terjadi perdarahan yang lebih dari biasa, walaupun tidak lebih dari 1000 ml.
Pencegahan
Di daerah – daerah dengan frekuensi kehamilan yang tinggi sebaiknya setiap
wanita hamil diberi sulfas ferrosus atau glukonas ferrosus, cukup 1 tablet sehari. Selain
itu wanita dinasehatkan pula untuk makan lebih banyak protein dan sayur – sayuran yang
mengandung banyak mineral serta vitamin.
Prognosis
Prognosis anemia defiesiensi besi dalam kehamilan umumnya baik bagi ibu dan
anak. Persalinan dapat berlangsung seperti biasa tanpa perdarahan banyak atau
komplikasi lain. Anemia berat yang tidak diobati dalam kehamilan muda dapat
menyebabkan abortus, dan dalam kehamilan tua dapat menyebabkan partus lama,
perdarahan postpartum, dan infeksi.
Walaupun bayi yang dilahirkan dari ibu yang menderita anemia defisiensi besi
tidak menunjukan Hb yang rendah, namun cadngan besinya kurang, yang baru beberapa
bulan kemudian tampak sebagai anemia infantum.
II. ANEMIA MEGALOBLASTIK
Anemia megablastik dalam kehamilan disebabkan karena defisisiensi asam folik (
pteroylglutamic acid ), jarang sekali karena defisiensi vitamin B12 ( cyanocobalamin ).
Berbeda dari di Eropa dan di Amerika Serikat frekuensi anemia megaloblastik dalam
kehamilan cukup tinggi di Asia, seperti India, Malaysia, dan di Indonesia. Hal itu erat
hubungannya dengan defisiensi makanan.
Diagnosis
Diangonosis anemia megaloblastik dibuat apabila ditemukan megloblas atau
promegaloblas dalam darah atau sumsum tulang. Sifat khas sebagai anemia makrositer
dan hiperkrom tidak selalu dijumpai, kecuali bila anemianya sudah berat. Seringkali
anemia sifatnya normositer dan normokrom. Hal itu disebabkan karena defisiensi sam
folik sering berdampingan dengan defisiensi besi dalam kehamilan.
Perubahan – perubahan dalam leukopoesis, seperti metamielosit datia dan sel
batang datia yang kadang – kadang diesertai vakuolisasi, dan hipersegmentasi granulosit,
terjadi lebih dini pada defiesiensi asam folik dan vitamin B12, bahkan belum terdapat
megaloblastosis. Ciri – ciri merupakan petunjuk yang kuat bagi defisiensi asam folik dan
vitamin B12. Juga pemeriksaan asam formimino – glutamik dalam air kencing ( Figlu –
test ) dapat membantu dalam diagnosis. Kadar asam folik tidak dapat dipakai sebagai
diagnostikum.
Diangnosis pasti baru dapat dibuat dengan percobaan penyerapan ( absorption test
) dan percobaan pengeluaran ( clearance test ) asam folik. Pengobatan percobaan dengan
asam folik dapat pula menyokong diagnosis; naiknya jumlah retikulosit dan kadar Hb
menunjukan defisiensi asam folik.
Pada anemia dimorfis gambaran darah yang mula – mula normositer dan
normokrom, setelah pemberian asam folik, jelas berubah menjadi mikrositer dan
hipokrom karena defisiensi asam folik sudah dikoreksi, akan tetapi defisiensi besi belum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar