Oleh: Marjohan M.Pd
Guru SMAN 3 Batusangkar
Dalam kehidupan ini sangat banyak pengalaman-pengalam an menarik yang dapat kita pungut dari lingkungan untuk menjadi pengalaman yang positif bagi kita (sebagai suri teladan dalam kehidupan). Persis seperti yang diungkakan oleh pribahasa populer yang berbunyi “experience is the best teacher”, pengalaman adalah guru yang terbaik dan “alam takambang jadi guru”. Paparan tulisan berikut adalah pengalaman seorang teman yang dituturkan kepada penulis tentang kesulitannya dalam jatuh cinta dan ia ketakukan kalau menjadi seorang “Gay”. Namun ia melakukan proses kreatif dan self-therapy untuk menyembuhkan problemnya. Ia menyadari bahwa kesulitan psikologisnya terjadi karena ia semapt kehilangan figur ayahn dalam hidupnya.
Pencarian figur (tokoh idola dalam hidup) mulai terjadi sejak awal kehidupan setiap orang, dan mencampai puncak identifikasi (mencari identitas diri) pada masa remaja- keseluruhan masa ini dapat juga disebut dengan “golden age”. Anak laki-laki menjadikan ayah sebagai tokoh idola, sebagai teman bermain dan ibu tempat bermanja-manja. Sebaliknya bagi anak perempuan tentu saja menjadikan ibu sebagai tokoh idola dan figur ayah tempat bermanja-manja. Makanya terlihat bahwa anak laki-laki gemar meniru prilaku ayah (meniru gaya berbicara ayah dan cara-cara yang lain) dan anak perempuan meniru prilaku ibu- mereka bermain peran sambil meniru bagaimana sang ibu marah atau menggoda bayi.
Andai figur ayah atau figur ibu sempat hilang atau susah untuk diperoleh maka figur tokoh pengganti juga bisa mengganti posisinya. Kehadiran kakek, paman dan famili laki-laki dewasa juga bisa menjadi sumber identifikasi bagi anak laki-laki. Kemudian, kehadiran figur nenek, tante dan famili perempuan yang telah dewasa juga bisa menggantikan figur ibu yang hilang.
Agaknya di lingkungan pedesaan atau pada rumah yang kekerabatannya masih luas (extended family atau keluar besar), maka kehilangan figur ayah atau ibu, karena mereka studi, meninggal dunia atau bercerai. Ini tidak akan memberi masalah yang besar bagi pencarian tokoh identitas bagi anak laki-laki/ anak perempuan. Sebab, seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa mereka bisa memperoleh tokoh panutan atau tokoh identifikasi dari kakek atau nenek, paman atau tante dan orang dewasa yang terlibat dalam pengasuhan pada mereka.
Ayah yang berkarakter smart (rajin dan bijaksana) juga bisa menularkan karakter smart tersebut pada pribadi anak laki-laki. Begitu juga bibi yang rajin dan tekun juga bisa menularkan karakter rajin/ tekun pada anak perempuan mereka. Kemudian, mengapa ada anak-anak yang berkasus di sekolah- malas, santai, menjadi pengganggu, kehilangan motivasi dan semangat bekerja/ belajar pada masa remaja? Ini bisa ditelusuri kepada bagaimana karakter ayah dan ibu mereka di rumah.
Demikian pula halnya dalam pencarian jati diri dalam hal cinta. Anak perempuan akan belajar mencintai lawan jenis berdasarkan pola cinta ibu pada ayahnya dan anak laki-laki akan belajar mencintai lawan jenis melalui cinta ayah pada ibunya. Anak-anak laki laki yang memiliki ibu sedikit pemarah cenderung mencari wanita yang agak agresif atau pemarah dan anak perempuan yang ayahnya humoris tentu juga mendambakan pasangan hidup yang juga humoris.
Lantas ayah dan ibu yang selalu betengkar, kemudian sang ibu menceritakan karakter jelek sang ayah pada anak perempuan tentu akan sangat berbahaya terhadap psikologi anak. Karena ini sangat berpotensi membuat anak perempuannya menjadi “dingin pada pria” (Kaum ibu perlu tahu bahwa tidak tepat menceritakan tentang kejelekan suami pada anak anak perempuan maupun anak laki-laki, sebab membuat anak perempuan benci dengan makhluk pria dan anak laki-laki kehilangan karakter jantannya). Begitu pula dengan ayah yang tidak punya peran apa-apa di rumah, sangat berpengaruh untuk membuat anak laki-laki kehilangan keperkasaan dalam dirinya.
Mencintai lawan jenis, sebagai mana dijelaskan di atas, sangat dipengaruhi oleh karakter orang tua. Ini juga dialami oleh teman penulis, yang bernama Abel (seorang remaja laki-laki dan bukan nama sebenarnya). Pada masa kanak-kanak, figur ayah sudah menjadi tokoh identitas baginya. Ia cukup akrab dengan ayah dan sering melakukan kebersamaaan di waktu senggang. Ia ingin gagah dan banyak teman seperti ayah, ia ingin kuat seperti ayah dan ia akan memilih karir sebagai penguasaha seperti sang ayah.
Tiba-tiba saat Abel duduk di bangku SMP, ia merasakan tidak ada ketenangan dalam rumah. Ayah dan ibu selalu bedebat, bertengkar dan adu mulut oleh hal-hal sepele. Abel menjadi bingung dan ia tidak bisa lagi berkosentrasi dalam belajar dan berkosentrasi dalam melakukan hobi membacanya. Ia menjadi remaja yang suka ke luar rumah. Di sekolah kadang kadang ia bermasalah dengan guru gara-gara lupa membuat PR.
Disiplin Abel dalam belajar dan dalam membantu pekerjaan di rumah sudah mulai berantakan. Apalagi Abel merasa lebih senang bila ia bisa tidur di rumah teman. Suatu malam temannya memutar film panas yang cocok dikosumsi oleh orang dewasa dalam kamar dan mereka nonton bareng. Pengalaman-pengalam an ekstra (pengalaman esek-esek) sering diperoleh anak lewat bergaul dengan teman. Malah dua orang remaja laki-laki atau remaja perempuan yang tidur dengan cara berbagi ranjang yang sempit sangat dikhawatirkan akan muncul prilaku lesbianisme atau homoseks karena dorongan libido yang tebentuk pada masa remaja maka mereka saling meraba-raba diri, lama-kelamaan jadi ketagihan. Untuk itu sangat dianjurkan kepada orang tua dan juga pengelola sekolah berasrama 9seperti di pesntren) agar mencegah siswa tidur pada satu kasur bersama-sama.
Di rumah teman-lah Abel mengenal film porno, bacaan porno dan bersama teman pula Abel memperoleh pengalaman menghisap rokok, mula-mulanya secara iseng dan ikut-ikutan, selanjutnya merokok sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup. Kalau tidak ikut menghisap rokok maka ia akan diledek dan dihina “wah kamu tidak jantan… wah kamu kayak perempuan saja”. Orang tua perlu mengenal dengan siapa anak bergaul/ berteman dan andai kata anak bermalam di rumah teman , maka orang tua juga harus tahu bagaimana kondisi sosial rumah dari teman anak kita, apakah sesuai dengan standar moral atau serba membolehkan pergaulan bebas ?.
Prahara pun datang. Akhirnya ayah Abel punya wanita simpanan (nikah siri) dan hari-hari di rumah seperti neraka. Sang ibu menjadi aneh, berkarakter sensitive- mudah marah marah atau menangis sepanjang waktu. Abel tentu saja tidak menyukai karakter ibu seperti ini. Abel membenci karakter ayah dan juga kurang simpati dengan karakter sang ibu. Akhirnya Abel tumbuh sebagai remaja tanpa idola dan remaja yang susah mengenal betapa indahnya jatuh cinta.
Satu hal yang masih tersisa pada diri Abel yaitu semangat atau motovasi belajar yang tinggi dalam suasana rumah yang berantakan . Ia mencari kesibukan positif dan mampu mengontrol diri dan meningkatkan kosentrasi belajar yang tinggi. Dalam kondisi rumah yang gersang dan suasana emosional yang penuh kebingungan Abel masih bisa meraih prestasi akademik. Ia mampu melanjutkan studi dari SMA ke perguruan tinggi yang agak favorite dan Abel masih bisa menyelesaikan studi sesuai dengan rencananya.
Namun aneh, “teman –teman Abel kok mudah jatuh cinta tapi tidak demikian bagi Abel ?”. Walau dia masih menganggap diri normal- tidak tetarik pada kaum sejenis (Aku masih normal katanya), namun ia sulit jatuh cinta pada wanita kecuali sekedar berteman akrab saja. Teman-temannya memandang bahwa Abel beruntung karena ia bisa TTM (teman tapi mesra) dengan banyak wanita remaja atau wanita dewasa berusia muda. “wah kau beruntung Abel, punya wajah cakep dan bisa punya pacar yang cantik”. Namun ia merintih dan menjerit “Aku sulit menyukai wanita dan tidak pernah merasa jatuh cinta pada wanita”.
Abel sudah berusia hampir seperempat abad (25 tahun). Teman-temanya sudah ada yang bertunangan dan jatuh cinta dengan penuh romantika. Lagi-lagi, Abel sebenarnya tidak pernah jatuh cinta. “Kalau kamu mengalami mimpi basah (wet dream), siapa yang kamu bayangkan dalam mimpimu?”. Nah itulah problemnya, ia hanya membayangkan orang lain dalam adengan romantis dan ia sebagai penonton dan ia bukan sebagai aktor dalam mimpi romantisnya. Selanjutnya ia takut menikah, takut kalau tidak bisa menjalankan peran sebagai suami sejati. Ia juga takut dan khawatir disebut sebagai homoseks atau anggota gay yang tidak sesuai dengan kodrat manusia normal. Sering Abel jadi takut dan tidak bisa tidur (insomania) bila memikirkan hal tersebut. Figur ayah yang hilang telah membuat nya ketakutan dalam menjalin cinta dengan wanita, takut kelak ia tidak bisa mebuat wanita puas atau bahagia- terutama dalam berhubungan biologis.
Abel termasuk pria yang tidak suka meratapi diri, maka ia rajin mencari artikel tentang “how to fall in love and how to love woman”. Ia mencoba menjalin cinta dengan wanita yang lugu, yang tidak tahu banyak dengan psikologi dan maskulinitas kaum pria, Dengan cara demikian ia bisa berperan cukup aktif dan agresif pada lawan jenis (kekasihnya) . Abel pun mulai bisa berjalan-jalan di taman dengan romantis walau kadang-kadang sedikit berpura-pura dengan wanita yang sudah dianggap sebagai pacarnya.
Akhirnya Abel menemui cintanya dan mulai melangkah serius untuk jenjang perkawinan. Ia rajin bertukar pengalaman tentang bagaimana untuk membina rumah tangga. Akhirnya cinta Abel dengan soulmatenya bias meningkat. Menjalin pertunangan dan melakukan pernikahan yang sangat direstui oleh keluarga menjelang usia 30 tahun.
Pesta sudah berakhir namun setelah dua minggu, Abel dan istrinya masih berstatus perawan-ting ting dan perjaka tulen secara biologis. Untung istrinya tidak banyak menuntut. Istrinya cuma hampir tiap malam membisikan ke telinga Abel “Tunaikanlah tugas mu pada ku Bang Abel !”. Abel pada mula merespon dengan keringat dingin, penuh cemas dan ereksinya malah hilang. Namun mereka berdua selalu rileks dan saling memahami karakter- karakter Abel sebagai pria yang mudah cemas.
“Bang Abel mungkin stress ya. Untuk itu kita sabar. Aku juga sabar dan aku kan istrimu, bang”. Wanita yang tenang, penuh pengertian dan tidak banyak menuntut sangat membantu dalam memulihkan rasa percaya diri atas kejantanan sang suami. Abel mulai mampu untuk mengontrol diri, menguasai emosi dan mengenal psikologi serta organ biologi pasanagn nya. Malam itu Abel bisa menunaikan tugas nya, walau belum seratus persen plong, sebagai lelaki tetapi dengan karakter yang cemas dan ketakutan akan gagal dalam menjalankan peran.
“Mengapa abang Abel serba terburu-buru dan ketakutan menunaikan tugas mu pada ku”, Kata istrinya, dan Abel menjelaskan latar belakang dirinya dengan karakter ayah yang kurang pasa untuk perkembangan jiwanya. Untuk memulihkan rasa percaya diri sebagai lelaki maka Abel juga mengkonsumsi tablet penambah hormone, melakukan olah raga agar membuat staminanya cukup bagus. Melalui beberapa kali terobosan cinta, Abel mampu membuktikan bahwa ia juga perkasa. Malam selanjutnya istrinya membisikan “Kenapa kau sekarang jadi hebat (perkasa) bang Abel ?” Pengakuan atas kehebatan dan keperkasaan atas suami oleh istri membuat harga diri pria (suami) kembali pulih. Efek positif tentu saja sang istri akan panen kehangatan.
Pada hari hari berikutnya dan hubungan cinta selanjutnya Abel dan istrinya bisa berjalan sangat normal. Beberapa bulan kemudian istri Abel mulai memperoleh “morning sickness” dan ia mual-mual dan ngidam. Abel menjadi bangga dan lebih percaya diri dan selalu berkomat-kami memuji Rabbi “Alhamdulillah- Tuhanku telah menormalkan emosiku, sehingga sekarang aku mampu menunaikan tugas ku sebagai suami dan kelak bila bayiku lahir aku insyallah menjadi ayah yang baik bagi bayi-ku”.
Abel mengatakan bahwa kehilangan figur ayah sempat membuat percaya dirinya sebagai lelaki berantakan. Namun masalah kejiwaan tentu bisa diatasi dengan ketekunan dalam mengubah cara pandang dan melakukan terapi bersama teman hidup (istri) yang dicintai.
Sekarang juga banyak laki-laki yang takut untuk menikah. Bila alasanya karena tidak mampu padahal karir dan ekonominya cukup mapan maka diperkirakan mereka mengalami krisis jati diri sebagai calon suami yang juga dialami oleh Abel, maka ada baiknya mereka belajar dari pengalaman Abel dalam jatuh cinta dan menikah. Kemudian juga diserukan kepada sang ayah dan sang ibu agar “jadilah figur membina rumah tangga yang baik bagi anak-anak” agar sang anak kelak tidak bermasalah dengan cinta dan perkawinan mereka. .