Minggu, 20 Desember 2009

Saatnya Guru Sertifikasi Menjadi Learning Manager


Saatnya Guru Sertifikasi  Menjadi Learning Manager
Oleh. Marjohan M.Pd
Guru SMA Negeri 3 Batusangkar

            Topik tentang pendidikan sangat menarik untuk dibicarakan, karena berbicara tentang bagaimana melakukan perubahan terhadap diri, dari keadaan kurang berkualitas menjadi orang yang sangat berkualitas. Secara umum bahwa peran pendidikan adalah selalu menjadi tanggung jawab orang tua, guru/sekolah, pemerintah, dan individu yang bersangkutan.
Dari sudut pendidikan di rumah, peran orang tua adalah memberikan pembiasaan positif, bagaimana agar anak terbiasa membaca, terbiasa berkata sopan, terbiasa menolong terbiasa beribadah. Untuk hal ini orang tua harus memberikan model (contoh) terlebih dahulu dan juga menyediakan fasilitas belajar dan bermain, karena bermain juga sebagai kebutuhan primer sang anak.
Kalau ada kata ”education atau pendidikan” dan kata ”teaching atau pengajaran”, maka kata edukasi atau pendidikan ditujukan pada orang tua, sebagaimana peran mereka dalam mendidik keluarga. Namun ada juga orang yang mampu memberikan ”education” dan sekaligus memberika “teaching” pada keluarga. Tentu ini bagi mereka yang punya komitmen kuat dan mungkin mungkin orang tua menguasai Bahasa Arab, Bahasa China, Bahasa Inggris, atau menguasai matematik, fisika dan yang lain, atau orang tua sebagai pengajar seni baca A-Qur’an. Pendidikan itu memang bermula dari orang tua, kemudian sebahagian dilimpahkan pada sekolah dan mesjid (TPA atau Taman Baca Alqur’an) untuk pengajaran atau teaching.
Seperti yang telah dikatakan tadi bahwa peran guru adalah pelaksana teaching, yang umumnya bersifat kognitif, meskipun ada juga mata pelajaran yang bersifat afektif atau pembentukan sikap. Namun pembentukan afektif yang sempurna tentu saja di rumah melalui model dari orang tua dan suasana rumah.
Semua guru adalah pelayan publik, khususnya siswa-siswi mereka. Dalam mengajarkan suatu mata pelajaran (misal bahasa, sains atau ilmu sosial) pada siswa, maka guru dapat diibaratkan sebagai ”penjual barang”  yang sedang menawarkan barang dagangannya  pada pembeli dengan berbagai karakter. ”Ada yang melakukan pendekatan yang bagus, ada yang marah-marah, ada yang rada-rada cuek, ada yang menghardik-hardik”. Tentu saja guru yang bisa memberikan pengajaran dengan metode dan pendekatan yang memuaskan dan menyenangkan akan menjadi guru yang signifikan dalam menceradaskan anak-anak bangsa.
Kalau guru dalam mendidik adalah untuk mencerdaskan dan mencerahkan pemikiran, maka peran orang tua adalah dalam ranah ”afektif” atau sikap. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa peran orang tua dalam membina (mendidik) tingkahlaku anak adalah melalui pemberian contoh (teladan atau model) yang idealnya dijiwai oleh pengalaman beragama. Namun fenomena yang terpantau dalam zaman yang penuh dengan hiruk pikuk tekhnologi ini bahwa banyak orang tua mendidik afektif anak namun kurang memolesinya dengan jiwa agama. ”Di rumah jarang melantunkan bacaan Al-quran, membahas betapa pentingnya menyantuni fakir miskin dan anak yatim, betapa penting berpakaian yang rai dan sopan, betapa penting menjadi orang yang ramah dan suka saling membantu. Kalau demikian tidak perlu heran kalau mereka cenderung melahirkan  generasi yang miskin dengan spiritual quotient.
Oleh sebab itu sebelum afektif anak kita menjadi parah maka kita, sebagai orang tua dan guru, musti berubah fokus edukasi dan pengajaran- selalu menyisipkan pesan pesan moral dan nilai agama dalam setiap interaksi kita dengan anak. Agar pengajaran lebih berbekas dalam sanubari anak maka gaya pembelajaran dan pendekatan musti beralih dari teacher centered menjadi, dimana murid-murid aktif dan mandiri.
Kecerdasan yang dihargai dahulu, secara tradisionil, adalah kecerdasan lingustik dan logis atau matematik. ”Kalau anak jago matematik maka itulah yang diangga sebagai anak jagoan di kelas”. Dalam kenyataan hidup bahwa anak yang jago di kelas hanya gara-gara rajin menghafal namun pribadinya super kuper (kurang pergaulan) juga bisa tidak sukses setelah dewasa, ada yang ”pengangguran” karena tidak beruntung untuk bidang akademik, namun setelah banting stir (tambah semangat untuk berjuang) bisa menjadi pengusaha restoran, sukses melalui dunia hobinya.
Ternyata untuk bisa bertahan hidup, mengembangkan diri, seseorang akan rugi besar kalau hanya mengandalkan satu jenis kepintaran. Lebih lanjut bahwa yang diperlukan dalam hidup adalah seseorang yang memiliki kepintaran berganda, yaitu: kecerdasan space (visual), kinestetik, musik, intrapersonal, interpersonal, logika, visual, dan agama atau spiritual. Pelajaran olah raga dan seni, sebagai contoh, sebagai dua jenis mata pelajaran dengan bentuk kecerdasan yang berbeda, yang selama ini dianggap sebagai mata pelajaran kelas dua (rendahan) tenyata berguna untuk membentuk siswa memiliki  fisik yang kuat, jiwa demokrasi dan kreatif.
Menjadi cerdas adalah urusan ”fikiran” yang merupakan fungsi dari organ otak, yang salah satu fungsinya adalah untuk berfikir. Banyak orang tidak menyadari bahwa ternyata potensi otak kita sungguh luar biasa untuk mengubah wajah dunia. Tetapi potensi itu sia-sia saja karena kita belum bisa menggunakan dan memanfaatkannya. Karena sebagian besar kita tidak mengerti dan tidak mengetahui cara memotivasi otak tersebut.
Sekali lagi bahwa potensi otak itu sungguh luar biasa, ia ibarat raksasa tidur. Kalau tidak dikembangkan tentu tidak berfungsi. Mengaktifkan potensi otak harus dilakukan sejak dini, sejak bayi, atau sejak dalam kandungan dengan sikap sabar seorang ibu dan gizi yang dimakannya. Info yang perlu kita ketahui bahwa pertumbuhan otak anak usia 4 tahun baru mencapai 50 %, kemudian anak usia 8 tahun mencapai 80 %. Pertumbuhan ini terjadi dengan mengupaya dan mengaktifkan potensi otak lewat pemainan dan pengalaman atau eksplorasi (merangsang semua panca indera anak). Itulah gunanya anak harus masuk play group, TK- yaitu untuk melakuka proses bermain sambil belajar.
Di SD prestasi belajar anak yang pernah sekolah TK lebih baik dari pada yang tidak pernah. Namun kita perlu tahu bahwa yang paling penting untuk kita lakukan adalah pengelolaan emosi anak melalui seni dan gerak- olah raga. Memasukan anak dalamm usia dini ke sekolah bukan bermaksud untuk  memaksa mereka untuk mengingat sampai melelahkan otak.
Lihatlah, di TK mereka bermain sambil belajar, bernyanyi dan olah raga. Anak yang cerdas emosinya lebih kreatif, mandiri, inovatif, dapat menolong diri dan dapat menolong orang. Anak murid yang diberi kesempatan untk tampil di depan kelas akan memupuk rsa percaya diri. Usia SD, SLTP dan SLTA adalah usia pembentukan jati diri. 
Umumnya orang sepakat mengatakan bahwa memotivasi keja otak adalah urusan pendidikan, atau urusan orang tua, guru, masyarakat, pemerintah dan si pemilik otak itu sendiri. Dalam realita bahwa metode dan suasana pengajaran di sekolah sendiri sedikit memotivasi potenasi otak, itu kalau siswa hanya disiapkan untuk mendengar dan menerima seluruh informasi. Demikian pula halnya bila sebahagian orang tua di rumah ada yang kurang momotivasi otak anak untuk menjadi kreatif dan produktif dalam berfikir. Apalagi kalau sampai ada orang tua yang berotensi mematikan kreatifitas berfikir anak, gara-gara di rumah terbiasa banyak melarang, banyak mengejek, banyak mematikan semangat berjuang mereka.
Cara belajar kuno yang biasa kita terapkan di sekolah selama ini bisa tidak efektif buat mencerdaskan otak anak didik. Untuk menguasai materi di sekolah , kata Paulo Freire (dalam Indra Djati Sidi,2001:27)  bila siswa harus menghafal. Pendidikan seperti ini sangat analog dengan kegiatan menabung, atau belajar dengan gaya bank (bank system method) guru sebagai penabung dan murid sebagai celengan. Ini mengakibatkan murid tidak punya keberanian untuk menyampaikan pendapat, tidak kreatif dan tidak mandiri, apalagi untuk menjadi inovatif.
Suasana belajar yang penuh terpaksa berdampak pada hilangnya aktivitas potensi otak. Untuk mengaktifkan otak maka suasana belajar- di rumah, di sekolah, di tempat penitipan anak, dan di learning center- harus menyenangkan. Tentu saja guru harus punya wawasan luas, ceria, hangat dan berfungsi sebagai fasilitator untuk mengajak dan merangsang anak untuk belajar. Kalau demikian halnya sekolah atau guru harus mengubah paradigma dari teaching (mengajar) menjadi learning (belajar). Sekarang timbul pertanyaaan, ”apa sih beda teaching denga learning (?)”.
Learning adalah  usaha seseorang dalam membangun pemahaman sendiri terhadap suatu objek atau materi yang sedang dipelajari. Sementara teaching adalah kegiatan yang dilakukan oleh guru terhadap siswa untuk memfokuskan perhatian atau memperoleh perhatian mereka (Mc. Inerney, 1998). Tentu saja makna kata ”learning dan teaching” di atas adalah bisa jadi masih sempit.
Sekolah dan guru sudah, sebagai penyelenggara kegiatang ”teaching and  learning” idealnya harus mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk mendidik anak mereka. Seharusnya guru- guru, kepala sekolah dan komite sekolah berfikir dan prihatin kalau tiap awal tahun akademik banyak masyarakat kurang melirik sekolah mereka dan mempercayai (mendaftar) anak pada sekolah lain. ”Ada apa gerngan  dengan sekolah kita ini, kenapa anak bapak anu atau ibu anu kok tidak melirik sekolah kita ?”. Barangkali ada proses pembelajaran, pelayanan sekolah dan manajemen sekolah yang yang tidak layak dan kurang memuaskan. Maka dengan cara begini berarti sekolah dan guru ikut mempertanggung jawabkan pendidikan tersebut  pada masyarakat, dan  bukan pada pemerintah saja dalam bentuk laporan demi laporan yang kadang kala penuh dengan polesan.
Lebih lanjut tentang bagaimana arus kebijakan pendidikan sebelumnya di nusantara ini ? Tentu saja arus kebijakan atau arus komando selalu turun dari atas ke bawah. Arus komando atau birokrasi yang sebelumnya terlalu berkarakter sentralis yang panjang. Kebijakan dan keputusan dimulai dari pusat ke propinsi, ke kabupaten, ke sekolah dan ke guru. Dan ini terbukti tidak efektif lagi, sebab sering komando dari atas salah tafsir (karena tidak dimengerti setelah sampai di bawah, atau gara-gara guru kurang kreatif). Syukurlah bahwa rantai komanto atau birokrasi tersebut kini telah diputus menjadi desentralisasi dalam otoda- otonomi daerah. Maka peran pemerintah juga bergeser dari regulator menjadi facilitator. Itulah mengapa  pemerintah hanya menetapkan standar minimun untuk kelulusan (sebagai contoh).
Fenomena Otoda dan desentralisasi sangat tepat untuk era sekarang- era globalisasi. Era ini ditandai oleh komputerisasi, efisiensi, transparansi, profesionalime dan kualitas yang tinggi.  Untuk itu guru harus kompeten dan berkualitas yang ditandai dengan karakter ”komputerisasi, efisiensi, transparansi, profesionalime, berkualitas”, juga mampu berkomunikasi untuk membentuk anak didik yang matang intelektual, emosional, moral dan spiritual.
Guru zaman sekarang harus menjadi ”Guru profesional”. Apalagi bagi yang sudah mencicipi kue (uang) yang bernama sertifikasi, yang sudah mereka nikmati untuk renovasi rumah, mempermak mobil second, jalan-jalan ke mall, menabung untuk biaya kuliah, untuk bantu famili atau biaya pendidikan anak. Ada kesan bahwa sebahagian guru penerima sertifikasi adalah  sebagai ”guru profesional bual-bualan”. Tidak masalah, untuk selanjutnya kalau mereka mau, mereka bisa saja menjadi guru profesional benaran melalui pengembangan diri lewat buku, menulis, internet, seminar, kuliah, dan lain lain. Kalau mengajar atau berbahasa dalam sosial (di rumah dan di sekolah) mereka telah beralih dari gaya berkomunikasi satu arah menjadi komunikasi dua arah.
Kini semakin banyak guru yang kommit dengan kata ”guru profesional”. Guru profesional adalah ciri untuk guru masa depan atau guru pemberi pencerahan untuk pendidikan bangsa ini. Maka sangat tepat kalau kita para guru kini berfungsi sebagai coach (pelatih), counselor dan learning manager.
Tidak perlu dulu mencari teori, namun coba perhatikan bagaimana aktifitas seorang coach di lapangan. Guru dan siswa langsung turun ke lapangan pembelajaran, tidak beraksi sebagai penonton yang kerjanya cuma berteriak, berseru, bersuit-suit, asal memuji dan sampai memaki-maki, namun ikut mengawasi kualitas, langsung memberi contoh dan langsung memberi semangat lagi. Sambil berada di lapangan ia juga memberikan peran counselor.
Bukan bermaksud terlalu memuji sekolah sekolah berkualitas di negara tetangga (Australia) seperti diungkapkan oleh pengalaman teman yang telah melakukan studi banding ke sana. Bahwa guru-guru di sana, bila jam pembelajaran dimulai mereka segera  bergerak ibarat seorang pelatih. Berjalan tegap, cepat dan bersemangat. Di leher bergelantungan kunci untuk labor,dan  lemari dalam kelas. Karena mereka terbiasa melakukan sesuatu untuk pembelajaran sendirian, tanpa minta tolong, kecuali kalau ada assisten, apalagi minta tolong kepada siswa untuk menjemput itu dan ini yang sengaja ditinggalkan atau tertinggal, atau memasang hal hal kecil yang sangat sepele.
Selama pembelajaran amat jarang guru di sana yang terpaku duduk di depan. Aktifitas yang dilakukan adalah berbicara tentang apa dan bagaimana topic, memberikan model dan meminta respon siswa, kemudian memberi elayanan secara individual tanpa melupakan monitoring secara klasikal. Sekali-sekai sang guru berhenti dekat bangku siswa, sharing fikiran dan menulis sesuatu langsung di atas meja. Karena ternyata meja belajar siswa di sana terbuat dari bahan papan atau bahan yang bisa ditulis dan sekaligus bisa dihapus kembali. Suasana iklim kelas mencerminkan adanya pelayanan prima. Sang guru tentu sangat tahu bahwa mereka digaji oleh Negara untuk melayani dan mendidik dengan prima.
Peran guru masa kini, khusus bagi mereka yang sudah memperoleh pengalaman, traning, informasi apalagi yang sudah menikmati dana sertifikasi (sekali lagi) musti berperan sebagai learning manager. Sebagai pengelola (manager) untuk mencerdaskan siswa maka mereka musti kenal betul dengan siapa siswanya dan apa materi pembelajaran yang terbaik buat mereka. Apakah siswa memang belajar optimal ? Untuk itu mereka selalu memberikan motivasi, melakukan monitor dan evaluasi, kalau ada yang kurang diperbaiki dan kalau meningkat segera diberi reward.
Paling kurang guru yang bertinak sebagai learning manager memahami 4 pilar pendidikan yang dipopulerkan oleh oleh komisi Unesco yaitu setiap orang harus dapat; learning to think- creative thinking, learning to do- problem solving, learning to be- himself/ independent, dan learning to live together. Atau belajar untuk berfikir- yang berarti berfikir kreatif, belajar untuk berbuat yang berarti menyelesaikan masalah, belajar untuk mandiri, dan belajar untuk bisa hidup bersama-sama. Maka guru sebagai learning manager harus tidak mendorong pembelajaran yang membeo atau siswa yang pasif dengan kebiasaan siswa yang cuma sekedar menghafal menghafal sepanjang hari.
(Catatan: 1) Indra Djati Sidi. (2001). Menuju Masyarakat Belajar: Menggagas Paradigma Baru. Jakarta: Logos. 2) McInerney, Denis. (1998). Educational Psychology, Constructing Learning, 2nd edition. New York: Prentice Hall) Marjohan M.Pd juga Penulis Buku School Healing Menyembuhkan Problem Sekolah.